Biarlah pil pahit yang pernah kita telan adalah obat memperkuat jiwa yang tadinya lemah. Dan bukankah obat itu memang sungguh pahit rasanya. Tugas kita adalah berterimakasih pada mereka yang pernah menyuguhkan manisnya madu bercampur pil pahit itu. Sebab, karena ditempa
terus menerus, sesuatu yang tadinya tumpul tentu menjadi sebilah pedang baja yang begitu
tajam. Cukuplah bagi kita sebagai pegangan untuk menebas semak belukar bahkan tiang besi yang menghalangi jalan.
Kita hanya tinggal mengikhlaskan. Bukan untuk
pengampunan, tapi atas nama rasa syukur. Maka lebih baik kita jadikan pahit nya hidup sebagai petuah langkah dan penasehat setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar